BAB
1
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Penggunaan lahan yang berlebihan sering merugikan
hidrologi daerah aliran sungai, meningkatnya kebutuhan terhadap sumberdaya
lahan dan air yang menunjukkan sejumlah dampak negatif yang serius, misalnya
penebangan hutan ke daerah hulu serta hilangnya tutupan lahan hutan menjadi
jenis penggunaan lahan lainnya yang terbukti memiliki daya dukung lingkungan
lebih terbatas. Semakin sering terjadinya bencana banjir dan kekeringan ini
telah ditunjukkan dengan peningkatan jumlah frekuensi akan terjadi setiap
tahundan intensitas kuat pula. Kondisi hidrologi Indonesia saat ini dicirikan
oleh meningkatnya kejadian ekstrimseperti banjir dan kekeringan dengan
kandungan cemaran yang tinggi yang terjadi di badan-badan air seperti sungai
dan danau. Krisis air juga semakin terasa terutama menjelang atau saat musim
kemarau, kususnya ungtuk pulau jawa yang sudah diantisipasi akan mengalami
kelangkaan air yang serius akibat tekanan penduduk yang akut dan kondisi
peubahan penggunaan lahan yang buruk.
Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem
yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi
serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS
di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan
tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya
alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi
DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi
dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap
kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu
maupun hilir demikian besarnya.
Sebagai
suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi
biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan
terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS
ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan
yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional
arrangement).
Tidak
optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya adanya
ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya
alam dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan
sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya
koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah
dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.
Permasalahan
ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS yang
lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karena itu, dalam rangka
memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS
secara terpadu.
Pengelolaan
DAS terpadu dilakukan secara menyeluruh mulai keterpaduan kebijakan, penentuan
sasaran dan tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang telah
direncanakan serta monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara terpadu.
Pengelolaan DAS terpadu selain mempertimbangkan faktor biofisik dari hulu
sampai hilir juga perlu mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kelembagaan,
dan hukum. Dengan kata lain, pengelolaan DAS terpadu diharapkan dapat melakukan
kajian integratif dan menyeluruh terhadap permasalahan yang ada, upaya
pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam skala DAS secara efektif dan
efisien.
Berdasarkan
sudut pandang biofisik, yang dimaksud dengan daerah Aliran Sungai (DAS) adalah
suatu wilayah daratan tertentu yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan
anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air
yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di
darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas di daratan
(UU air Pasal 1 ayat 11 UU No. 7 Tahun 2004) .
Sementara
dari sudut pandang pengelolaan, Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu
kesatuan ekosistem yang unsur - unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah,
air dan vegetasi) serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat dan
pengelola sumberdaya alam tersebut. DAS
dipandang sebagai basis utama yang tepat dalam membentuk unit pembangunan
berkelanjutan yang berpilarkan ekologi, ekonomi dan sosial dikarenakan beberapa hal, yaitu : DAS merupakan sistem
alami yang jelas batas-batasnya, rentang area dimulai dari pegunungan sampai
dengan pesisir beserta area diantaranya, dapat memberikan pandangan secara
holistik dari berbagai komponen pembentuknya, memperlihatkan bagaimana
ekosistem dataran tinggi, rendah dan pesisir saling berhubungan dan sederhana
dalam memonitoring pengaruh berbagai aktifitas/kegiatan terhadap
lingkungan. Sebagai sebuah unit
pembangunan berkelanjutan sistem DAS mempunyai kerangka kerja yang mendorong
kolaborasi atau kerjasama diantara stakeholder (pemangku kewajiban)
untuk mengelola, mempertahankan dan mendistribusikan manfaat kepada stakeholder
generasi sekarang dan mendatang, diantara
dan diluar unit tersebut.
Sehingga
sangatlah tepat apabila dikatakan bahwa suatuDaerah Aliran Sungai merupakan
suatu megasistem kompleks yang dibangun atas sistem fisik (physical systems),
sistem biologis (biological systems) dan sistem manusia (human
systems) dimana setiap sistem
dan sub-sub sistem di dalamnya saling berinteraksi. DAS sebagai suatu sistem akan
memelihara keberadaannya dan berfungsi sebagai sebuah kesatuan melalui
interaksi antar komponennya. Kualitas output dari suatu ekosistem sangat
ditentukan oleh kualitas interaksi antar komponennya, sehingga dalam proses ini
peranan tiap-tiap komponen dan hubungan antar komponen sangat menentukan
kualitas ekosistem DAS.
II. Tujuan
1.
mengetahui hubungan antara perubahan
lahan dengan debit sungai
2. Mengetahui
pola atau perilaku perubahan debit maksimum dan minimum sungai dari waktu ke
waktu akibat perubahan penggunaan lahan
III.
Dasar Teori
1. Daerah
Aliran Sungai
Manusia hidup di bumi akan selalu dipengaruhi, baik
secara positif dan negatif oleh adanya interaksi dari sumberdaya air dengan
sumberdaya-sumberdaya alam lainnya. Dampak dari interaksi sumberdaya tersebut
tidak terbatas pada batasan politik saja. Sebagai contoh yang nyata, air. Air
yang mengalir dalam kapasitas yang sangat besar akan mengakibatkan terjadinya
banjir. aliran air yang besar akan mengalir dari permukaan yang tinggi ke
permukaan yang lebih rendah tanpa memperdulikan batas-batas politis atau administrasi.
Dari sinilah diperlukan suatu pengelolaan DAS.
Menurut
Chay Asdak (2010:4) Daerah Aliran
Sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi
punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya
ke laut melalui sungai utama.
Daerah
aliran sungai secara yuridis
formal tertuang dalam Peraturan Pemeintah No: 33 tahun 1970 tentang perencanaan
hutan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut DAS dibatasi sebagai suatu daerah
tertentu yang bentuk dan sifanya sedemikian rupa sehingga suatu kesatuan dengan
sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk
menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanan
serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya
demi keseimbangan daerah tersebut.
Dalam Daerah aliran sungai terdapat ekosistem. Ekosistem adalah suatu sistem
ekologi yang terdiri atas komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk
suatu kesatuan. Komponen
yang dimaksud adalah komponen biotik dan abiotik. Setiap komponen tersebut
tidak dapat berdiri sendiri, sehingga aktifitas suatu komponen ekosistem akan
selalu memberikan pengaruh pada komponen ekosistem lainnya. Manusia merupakan
salah satu ekosistem biotik yang penting dan dinamis. Dalam menjalankan
aktifitasnya sering mangakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan
dan untuk kemudian mempengaruhi ekosistem secara berurutan.
Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan
oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah
(topografi), tanah, dan manusia. Apabila salah satu faktor tersebut mengalami
perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi juga ekosistem DAS tersebut dan
akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi DAS. Apabila fungsi suatu
DAS telah terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu, penangkapan
curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang atau
sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian itu akan menyebabkan
melimpahnya air pada musim penghujan dan sangat minimum pada musim kemarau,
sehingga fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim kemarau berbeda
tajam.
Pada dasarnya
pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal
balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta
meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan
(Departemen Kehutanan, 2000). Selama
ini kerjasama pengelolaan DAS sering kali dibatasi oleh batas-batas politis
ataupun administrasi saja. Padahal kekuatan alam seperti banjir diatas atau
erosi dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas politis ataupun
administrasi. Pengelolaan DAS ditujukan untuk kesejahteraan
manusia dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam atau ekosistemnya,
kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kelembagaan. Pengelolaan tidak
hanya bertumpu pada salah satu aspek saja tetapi juga harus memperhatikan aspek
yang lain. Hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan timbal balik
ekosistem DAS dengan manusia, sebab DAS memiliki banyak fungsi (mulltifungsi).
Multifungsi DAS seperti penyedia pangan, papan, sandang, rekreasi, kesejukan
udara, jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, penyedia energi, dan sebagainya
harus diperhatikan. Untuk itu, pendekatan multifungsi DAS dan peran DAS yang
dominan dalam kehidupan manusia harus dilakukan agar keseimbangan dapat
tercapai. Dengan demikian, konsep
pengelolaan DAS yang baik perlu didukung oleh adanya kebijaksanaan yang harus
dirumuskan dengan baik pula. Daerah Aliran Sungai dibagi menjadi 3 bagian yaitu
bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir. Ciri-ciri pada setiap bagian DAS
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)
Bagian
Hulu
a.
Merupakan
daerah konservasi.
b.
Mempunyai
kerapatan drainase lebih tinggi.
c.
Merupakan
daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%).
d.
Bukan
merupakan daerah banjir.
e.
Pengaturan
air ditentukan oleh pola drainase.
2)
Bagian
Hilir
a.
Merupakan
daerah pemanfaatan.
b.
Kerapatan
drainase lebih kecil.
c.
Merupakan
daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil (kurang dari 8%).
d.
Pada
beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan).
e.
Pengaturan
pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi.
3)
Bagain
Tengah
Daerah Aliran
Sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik
biogeofisik DAS yang berbeda
tersebut diatas. (Asdak, 2010:11).
b. Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Salah satu fungsi DAS adalah fungsi hidrologis, dimana
fungsi tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah curah hujan yang diterima,
geologi dan bentuklahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS
untuk:
a.
Mengalirkan
air.
b.
Menyangga
kejadian puncak hujan.
c.
Melepaskan
air secara bertahap.
d.
Memelihara
kualitas air.
e.
Mengurangi
pembuangan massa (seperti terhadap longsor).
(http://www.bacaanonline.com, 19Juli 2011)
Fungsi suatu
DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada
DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah, dan manusia.
Apabila salah satu faktor tersebut mengalami perubahan, maka hal tersebut akan
mempengaruhi juga ekosistem DAS tersebut dan akan menyebabkan gangguan terhadap
bekerjanya fungsi DAS. Apabila fungsi suatu DAS telah terganggu, maka sistem
hidrologisnya akan terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan
airnya menjadi sangat berkurang atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros.
Kejadian itu akan menyebabkan melimpahnya air pada musim penghujan dan sangat
minimum pada musim kemarau, sehingga fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan
musim kemarau berbeda tajam.
Agus, F. Dan Widianto (2004:186) mengemukakan bahwa
sebuah DAS yang sehat dapat menyediakan:
1) Unsur hara bagi tumbuh-tumbuhan.
2) Sumber makanan bagi manusia dan hewan
3) Air minum yang sehat bagi manusia dan makhluk lainnya.
4) Tempat berbagai aktivitas manusia dan hewan.
Manusia hidup di bumi akan selalu dipengaruhi, baik
secara positif dan negatif oleh adanya interaksi dari sumberdaya air dengan
sumberdaya-sumberdaya alam lainnya. Dampak dari interaksi sumberdaya tersebut
tidak terbatas pada batasan politik saja. Sebagai contoh yang nyata, air. Air
yang mengalir dalam kapasitas yang sangat besar akan mengakibatkan terjadinya
banjir. aliran air yang besar akan mengalir dari permukaan yang tinggi ke
permukaan yang lebih rendah tanpa memperdulikan batas-batas politis atau
administrasi. Dari sinilah diperlukan suatu pengelolaan DAS.
Pada
dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan
timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem
serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara
berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000). Selama ini kerjasama pengelolaan DAS sering kali dibatasi
oleh batas-batas politis ataupun administrasi saja. Padahal kekuatan alam
seperti banjir diatas atau erosi dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas
politis ataupun administrasi. Pengelolaan DAS ditujukan untuk
kesejahteraan manusia dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam atau
ekosistemnya, kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kelembagaan.
Pengelolaan tidak hanya bertumpu pada salah satu aspek saja tetapi juga harus
memperhatikan aspek yang lain. Hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan
timbal balik ekosistem DAS dengan manusia, sebab DAS memiliki banyak fungsi
(mulltifungsi). Multifungsi DAS seperti penyedia pangan, papan, sandang,
rekreasi, kesejukan udara, jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, penyedia
energi, dan sebagainya harus diperhatikan. Untuk itu, pendekatan multifungsi
DAS dan peran DAS yang dominan dalam kehidupan manusia harus dilakukan agar
keseimbangan dapat tercapai. Dengan demikian, konsep pengelolaan DAS yang baik perlu didukung oleh
adanya kebijaksanaan yang harus dirumuskan dengan baik pula.
2. Lahan
Menurut Food And Agricultural Organisation (FAO:1976) lahan diartikan
sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan
vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap
penggunaan lahan, termasuk didalamnya juga hasil kegiatan manusia dimasa lalu
dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi dan juga hasil
yang merugikan seperti tanah yang tersalinasi (Arsyad, 2010: 310).
Dedy
Ma’mun dalam Suryaningtyas (2002:20) menyatakan bahwa ”lahan adalah bagian dari
permukaan bumi tempat berlangsungnya berbagai kegiatan serta berdirinya
berbagai struktur kebutuhan untuk menunjang kehidupan.”Selain itu, lahan juga
dapat didefinisikan sebagai bentangan alam yang terdiri dari satu atau lebih
jenis tanah dan mencakup faktor-faktor fisik topografi, vegetasi, iklim, atau
sumber air dimana proses produksi berlangsung dan pembangunan dilaksanakan.
Malingreau
dalam Tegawati (1978:18) mendefinisikan bahwa ”lahan adalah suatu wilayah
tertentu yang ada di permukaan bumi khususnya benda yang menyusun biosfer yang
dianggap mempunyai siklus yang berada diatasnya atau dibawah wilayah tersebut,
yang meliputi tanah, batuan induk, topografi, air, masyarakat, dan binatang
berikut akibat dari manusia dimasa sekarang atau masa yang akan datang yang kesemuanya
mempunyai pengaruh yang nyata terhadap penggunaan lahan.”
Notohadiprawiro
(1992:1) mengemukakan bahwa ” lahan dapat diartikan sebagai suatu sumberdaya
darat bergatrabahan, energi, dan ruang yang termanfaatkan bagi permukiman
masyarakat manusia secara tetap dalam berbagai ragam jelmaan ekonomi, sosial,
dan budaya. ” Barrow (1991) mendefinisikan degradasi
lahan sebagai hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan
untuk mendukung kehidupan. kehilangan atau perubahan kenampakkan tersebut
menyebabkan fungsinya tidak dapat diganti oleh yang lain. Degradasi lahan akan
berdampak baik bagi manusia dan mahluk hidup lainnya.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah harus menyusun rencana tata ruang
wilayah nasional (RTRWN), pemerintah daerah provinsi harus menyusun rencana
tata ruang wilayah provinsi (RTRW provinsi), dan pemerintah daerah kabupaten harus
menyusun rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRW kabupaten), dengan
memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Penyusunan rencana tata ruang
wilayah yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, dapat
menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti banjir,longsor dan
kekeringan. Dalam upaya menangani permasalahan tersebut di atas, dan dalam
rangka pelaksanaan penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang perlu disusun Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup
dalam Penataan Ruang Wilayah. Pedoman ini di samping digunakan untuk menentukan
daya dukung lingkungan hidup wilayah juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan
evaluasi pemanfaatan ruang sehingga setiap penggunaan lahan sesuai dengan
kemampuan lahan.
Penentuan daya dukung lingkungan hidup
dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya
untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi
kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat dipengaruhi
oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang
bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor
pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai.
Daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2
(dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan
kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Dalam pedoman ini,
telaahan daya dukung lingkungan hidup terbatas pada kapasitas penyediaan sumber
daya alam, terutama berkaitan dengan kemampuan lahan serta ketersediaan dan
kebutuhan akan lahan dan air dalam suatu
ruang/wilayah. Oleh karena kapasitas sumber daya alam tergantung pada
kemampuan, ketersediaan, dan kebutuhan akan lahan dan air, penentuan daya
dukung lingkungan hidup dalam pedoman ini dilakukan berdasarkan 3 (tiga)
pendekatan, yaitu:
1. Kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang.
2. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan.
3. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air.
Agar pemanfaatan ruang di suatu wilayah
sesuai dengan kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya, alokasi pemanfaatan
ruang harus mengindahkan kemampuan lahan. Perbandingan antara ketersediaan dan
kebutuhan akan lahan dan air di suatu wilayah menentukan keadaan surplus atau
defisit dari lahan dan air untuk mendukung kegiatan pemanfaatan ruang. Hasil
penentuan daya dukung lingkungan hidup dijadikan acuan dalam penyusunan rencana
tata ruang wilayah. Mengingat daya dukung lingkungan hidup tidak dapat dibatasi
berdasarkan batas wilayah administratif, penerapan rencana tata ruang harus
memperhatikan aspek keterkaitan ekologis, efektivitas dan efisiensi pemanfaatan
ruang, serta dalam pengelolaannya memperhatikan kerja sama antar daerah.
BAB 2
PENELITIAN
I. Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan dalam praktikum Pengukuran Morfometri DAS Secara Kuantitatif ini
adalah Laptop, Software AcrGIS 9.3, Software Microsoft Office Excel. Sedangkan
bahan yang digunakan adalah data digital sub-DAS. Sedangkan untuk mengukurdebit
sungai alat yang digunakan adalah current meter, penggaris, meteran dan
stopwatch dan banah yang digunakan adalah table data.
II. Cara Kerja
Cara kerja untuk pengukuran debit sungai
adalah sebagai berikut :
1.
Metode
3 titik
a. Mengukur lebar sungai dengan
menggunakan meteran.
- Lebar
sungai dibagi menjadi 8 titik pengukuran dengan masing-masing jarak
interval antara titik 0,5 m, dimulai dari lebar 0,5 m dari sisi kiri
sungai.
- Mengukur
kedalaman titik dengan menggunakan penggaris.
- Pada
masing-masing titik pengukuran diukur kecepatan aliran sungai dengan
menggunakan current meter untuk kedalaman 0,8 bagian 0,6 bagian dan 0,2
bagian dari kedalaman titik.
- Menghitung
luas masing-masing titik pengukuran.
- Menghitung
debit aliran pada masing-masing titik pengukuran.
- Metode
5 titik
- Mengukur
lebar sungai dengan menggunakan meteran .
- Lebar
sungai dibagi menjadi 3 titik pengukuran dengan masing-masing jarak
interval antara titik 0,55 m dari sisi sungai.
- Mengukur
kedalaman titik dengan menggunakan penggaris.
- Pada
masing-masing titik pengukuran diukur kecepatan aliran sungai dengan
menggunakan current meter untuk kedalaman titik.
- Menghitung
luas masing-masing titik pengukuran.
- Menghitung
debit aliran pada masing-masing titik-titik pengukuran.
III.
Parameter
Parameter yang digunakan adalah luas DAS,
panjang dan lebar DAS, kualitas air, dan bentuk DAS.
BAB
3
HASIL
DAN PEMBAHASAN
I.
Hasil
Table 1. Karakteristik
beberapa sungai utama di Indonesia dengan status penggunaan l
Tabel
4. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Batanghari tahun 1986-1992
Table
5. lahan kritis dan laju rehabilitasi tahunan
Table
6. statistic deskripsi dan frekuensi debit banjir sungai yang ada di Indonesia
II.
Pembahasan
Karakteristik DAS sejumlah
sungai utama di Indonesia, khususnya di Jawa, dicirikan oleh dominasi lahan
budi daya pertanian dan padi sawah yang mencapai 50-85%, dan perkembangan
perkotaan yang sudah mencapai 30% untuk Citarum dan Brantas, sedangkan luas hutan
sudah dibawah 20%. Hal ini diyakini telah ikut mempengaruhi terjadinya
peningkatan frekuensi dan volume debit banjir maupun kekeringan di banyak
wilayah di Indonesia. Delapan dari sepuluh sungai tersebut terdapat di Jawa
dengan total luas seluruh DAS mencapai separuh dari luas Pulau Jawa dan total
rerata debit sebanding dengan proporsi luas DAS. Status penggunaan lahan dari
sepuluh DAS utama ini sudah didominasi oleh lahan budi daya dan perkotaan yang
menunjukkan tingkat perkembangan wilayah yang ada. Penggunaan lahan pertanian
dan padi sawah telah mencapai 50-85%, dan perkotaan mencapai hampir 30% untuk
Citarum dan Brantas, sedangkan luas lahan hutan kebanyakan sudah di bawah 20%.
Data terakhir dari Badan Planologi Dephut menyatakan bahwa luas tutupan hutan
Pulau Jawa saat ini tinggal 4%.
Karakteristik
debit sungai sebagaimana tercantum pada Tabel 2 menunjukkan variasi aliran yang
tinggi, baik untuk rezim aliran sungai-sungai tertentu maupun antar-sungai.
Rasio debit maksimum/minimum bervariasi dari kurang dari 20 kali sampai lebih
dari 100 kali, walau perlu dicermati juga akurasi informasi debit yang
diberikan ini antara debit maksimum sesaat atau rerata bulanan. Sebagai
indikator penting untuk menilai karakteristik hidrologi banjir dari suatu
sungai adalah debit jenis (specific discharge) yang dibataskan sebagai
besar debit per satuan luas (m3/s/100 km2). Nampak bahwa sungai-sungai
utama di Indonesia ini memiliki sifat banjir yang moderate dibandingkan
dengan sungai-sungai di dunia, yaitu dengan debit jenis (Qmax/A) antara 10-80 m3/s/100
km2 kecuali
Tuntang dan Jeneberang yang melampaui 100 m3/s/100 km2 atau
termasuk tinggi. Sebagai ukuran ketersediaan air dapat dinyatakan debit jenis
terhadap debit rerata yang menghasilkan besaran antara 4-10 m3/s/100
km2.
Debit minimum menyatakan kondisi ketersediaan air pada musim kering yang
tentunya harus digunakan terbatas untuk jenis penggunaan air tertentu saja,
seperti penggunaan domestik dan industri, dan tidak untuk pertanian.
Pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung masih
didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan, yaitu 61% dari luas DAS
Ciliwung Hulu dan 73% dari luas DAS Ciliwung Tengah. Kawasan hutan didapatkan
di DAS Ciliwung Hulu seluas 5.310 ha, sebagaimana secara lengkap ditunjukkan
pada Tabel 3 berikut untuk kondisi tahun 1981 dan 1999, sedangkan Gambar 1
menunjukkan pola penggunaan lahan DAS untuk tahun 1999. Perbedaan total luas
antara dua tahun pengamatan tersebut dikarenakan pengukuran luas diperoleh dari
dua peta dengan sumber berbeda yang masing-masing diperoleh sebagai hasil
interpretasi citra landsat pada tahun-tahun bersangkutan. Perubahan
penggunaan lahan dari kondisi dua tahun pengamatan ini menunjukkan penurunan
luas hutan di Ciliwung Hulu seluas 2 ha, perkebunan seluas 35 ha, sawah total
seluas 62 ha, dan lahan tegalan/ladang seluas 152 ha. Penurunan penggunaan
lahan serupa didapati juga pada kawasan tengah. Peningkatan yang mencolok
terjadi pada luas kawasan permukiman, baik di Ciliwung Hulu maupun Tengah,
masing-masing meningkat dari 255 ha menjadi 506 ha untuk Ciliwung Hulu dan dari
1.147 ha menjadi 1.961 ha untuk Ciliwung Tengah, atau peningkatan masing-masing
sebesar 98% dan 71%, yang diperoleh terutama dari pengurangan luas sawah dan
tegalan, baik di kawasan hulu maupun tengah.
Kabupaten Batanghari memiliki luas 1.054.104 ha, dengan jumlah penduduk
294.381 jiwa (29 jiwa/km2) pada tahun 1986 dan meningkat menjadi
380.097 jiwa (38 jiwa/km2) pada tahun 1992 atau bertambah 31% dan
diproyeksikan akan meningkat menjadi 466.356 jiwa pada tahun 2004. Tabel 4 dan
Gambar 2 menunjukkan bahwa laju perubahan lahan hutan dataran rendah maupun
tinggi (LHF) menjadi penggunaan lahan lain adalah 2% atau 132 ha/tahun. Wujud
dari alih fungsi lahan LHF adalah berupa lahan bekas tebangan (LLOF), yaitu sebesar
790 ha yang terjadi selama 6 tahun. Hutan rawa gambut (PSF) juga telah
mengalami perubahan fungsi, yaitu menjadi LLOF, areal tanaman/vegetasi sekunder
(SR), dan lahan untuk tanaman padi huma serta tanaman pangan lain (MUR)
berturut-turut seluas 14.810 ha, 167 ha dan 10 ha yang juga terjadi selama
kurun waktu 6 tahun. Laju perubahan lahan lain yang juga cukup dominan di
Kabupaten Batanghari adalah bertambah luasnya lahan perkebunan karet (SHR).
Pertambahan luas tersebut berasal dari perubahan fungsi lahan LLOF, SR, MFT
(kebun buah-buahan, kayu manis dan kopi), dan MUR menjadi SHR. Berdasarkan
hasil analisis tersebut maka perubahan penggunaan lahan tertentu menjadi
penggunaan lahan lain tampaknya mengikuti suatu pola yang khas, yaitu: (1)
perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan lain adalah mungkin
terjadi, tapi penggunaan lahan turunannya belum pernah ada yang kembali menjadi
hutan, dan (2) perubahan penggunaan lahan terakhir di Kabupaten Batanghari pada
umumnya berupa lahan. Dampak nyata dari perubahan penggunaan lahan ini adalah
peningkatan erosi tanah dan meluasnya lahan-lahan kritis. Saat ini diperkirakan
terdapat lahan kritis seluas 43 juta ha walaupun Tabel 5 menunjukkan status
lahan kritis pada tahun 1988 seluas 13 juta ha dengan target laju rehabilitasi
tahunan sebesar 500 ribu ha/tahun untuk periode 1976-1987.
perubahan tutupan
lahan telah berlangsung di Pulau Jawa sejak awal abad lalu akibat konversi
lahan dari hutan menjadi penggunaan lain dan hal ini berlangsung sejalan dengan
pertambahan jumlah penduduk dari empat juta pada awal abad 19 yang meningkat
menjadi 40 juta pada awal abad 20 dan saat ini mencapai 130 juta jiwa.
Pertambahan penduduk ini berbanding terbalik dengan luas hutan yang terus
berkurang hingga kurang dari 20%. Penggundulan lahan ini telah berlangsung
sejak awal abad 20 dan meningkat secara luas dalam tiga dasawarsa terakhir ini.
Dampak perubahan tutupan lahan dalam skala luas ini nampak dari perubahan
fungsi hidrologi DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan
diikuti oleh hasil air DAS. Gejala penurunan curah hujan Pulau Jawa nampak dari
rataan curah hujan tahunan periode 1931-1960 dan 1968-1998 di banyak stasiun
yang meliputi sepanjang Jawa bagian selatan yang mencapai selisih 1.000 mm
antara dua periode pengamatan tersebut. Hasil serupa juga diamati dengan
perubahan jangka panjang untuk DAS Citarum untuk masa 1896-1994 yang mengalami trend
penurunan curah hujan dengan laju 10 mm/tahun dan diikuti oleh penurunan
debit limpasan sebesar 3 mm/tahun.
Penilaian kepekaan dan daya dukung
sistem hidrologi DAS akibat perubahan penggunaan lahan dapat dilakukan dalam
tiga tahapan berikut: (i) pengembangan skenario perubahan penggunaan lahan;
(ii) simulasi hidrologi wilayah; dan (iii) evaluasi dampak dari variasi
hidrologi yang dihasilkan sistem sumber daya air yang meliputi aspek
pengembangan dan pengelolaan serta menilai kinerja sistem akibat bencana
seperti banjir dan kekeringan, operasi waduk, saluran, mutu air, serta berbagai
isu lingkungan. Pawitan (1999) menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan
berdampak pada penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi
musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim, dan ukuran
DAS serta kapasitas sistem storage DAS, baik di permukaan (tanaman,
sawah, rawa, danau/waduk, dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan
air bumi), akan merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya
dukung sistem sumber daya air wilayah terhadap perubahan iklim. Dalam kaitan
ini perubahan paradigma dari pengelolaan sumber daya air dari blue water menjadi
green water menjadi relevan saat ini. Selain mengukur pengaruhnya
peneliti juga mengukur debit aliran sungai.
BAB 4
KESIMPULAN
1.
Delapan dari sepuluh sungai tersebut
terdapat di Jawa dengan total luas seluruh DAS mencapai separuh dari luas Pulau
Jawa dan total rerata debit sebanding dengan proporsi luas DAS
2.
Karakteristik debit sungai
menunjukkan variasi aliran yang tinggi, baik untuk rezim aliran sungai-sungai
tertentu maupun antar-sungai. Rasio debit maksimum/minimum bervariasi dari
kurang dari 20 kali sampai lebih dari 100 kali, walau perlu dicermati juga
akurasi informasi debit yang diberikan ini antara debit maksimum sesaat atau
rerata bulanan.
3.
Perubahan penggunaan lahan
hampir pasti mengikuti pola dari jenis penggunaan hutan ke pertanian,
perkebunan, dan berlanjut ke permukiman sejalan dengan perkembangan wilayah
perkotaan. Perubahan demikian jelas sangat berpengaruh terhadap neraca air wilayah
dan rezim hidrologi DAS bersangkutan. Perlu dicermati adanya kesimpulan yang
menyederhanakan dampak perubahan penggunaan lahan seolah-olah jenis tutupan
vegetasi tidak banyak berperan dan mengabaikan air konsumtif tanaman
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dasanto, B.D. 2003. Proyeksi Perubahan Penggunaan Lahan
Menggunakan Metode Regresi Logistik (Studi kasus: Kabupaten Batanghari, Jambi).
Laporan Penelitian Departemen Geofisika dan Meteorologi-Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasikan).
Harsoyo,
Bangun. 1977. Pengelolaan Air Irigasi.
Dinas Pertanian Jawa Timur.
Hidayah,R.2008. Analisis Morfometri Sub Daerah Aliran Sungai Karangumus dengan Aplikasi
Sistem Informasi Georafis. Skripsi. Samarinda:Fakultas Kehutanan
Universitas Mulawarman.
Ibnu Pamungkas, Azam, Aditiya
Priambodo. 2014. Modul Praktikum
Hidrologi. Universitas Jendral Soedirman Fakultas Pertanian. Purwokerto.
Kartasapoetra,
Ir. A.G. dan Sutedjo Mulyani. 1986. Teknologi
Pengairan Pertanian. Bina Aksara. Jakarta.
Martha, Joyce. (1991). Mengenal Dasar-Dasar Hidrologi. Bandung:
Nova.
Pawitan, H. 1999. Penilaian kerentanan dan daya adaptasi
sumber daya air terhadap perubahan iklim. Makalah Lokakarya Nasional –
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, Februari 1999.
Pramono, Irfan B. dan
Gunardjo Tjakrawarsa. 2013. Hubungan Antara Karakteristik Hujan dan Banjir
di Sub DAS Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS, 12 Juni 2013. Balai
Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
riyono,C.N.S dan Savitri,E.1997.Hubungan antara Morfometri dengan Karakteristik Hidrologi suatu Daerah
Aliran Sungai (DAS): Studi kasus Sub DAS Wader.Jakarta: Buletin Pengelolaan DAS Vol.III.No.2.
Singgih, I. 2000. Kajian Hidrologi DAS Ciliwung Menggunakan
Model HEC-1. Tesis M.S. PS Pengelolaan DAS. Program Pascasarjana IPB, Bogor
Sosrodarsono,
Ir. Suyono, Cs. 1985. Hidrologi Untuk
Pengairan. Pradnya Paramita. Jakarta.
Tobing, Bontor Lumban.
2008. Optimasi Penggunaan Lahan dari Aspek AliraN Permukaan di Sub DAS
Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Tesis.
Yogyakarta: Program Studi Geografi Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir
dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS) Fakultas Geografi, Universitas Gadjah
Mada
Trihatmojo, Bambang.
2010. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Beta Offset
Wijaya, Taufik Adi.
2004. Analisis Pengaruh Perubahan penggunaan Lahan terhadap Perubahan
Karakteristik Hidrograf Banjir Menggunakan Software HEC-HMS Versi 2.2.2, Studi
Kasus di DAS Progo di Hulu Stasiun AWLR Duwet. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
LAMPIRAN
0 komentar on "paper hidrologi Daerah Aliran Sungai"
Posting Komentar