Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 26 April 2016

paper hidrologi Daerah Aliran Sungai


BAB 1
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
            Penggunaan lahan yang berlebihan sering merugikan hidrologi daerah aliran sungai, meningkatnya kebutuhan terhadap sumberdaya lahan dan air yang menunjukkan sejumlah dampak negatif yang serius, misalnya penebangan hutan ke daerah hulu serta hilangnya tutupan lahan hutan menjadi jenis penggunaan lahan lainnya yang terbukti memiliki daya dukung lingkungan lebih terbatas. Semakin sering terjadinya bencana banjir dan kekeringan ini telah ditunjukkan dengan peningkatan jumlah frekuensi akan terjadi setiap tahundan intensitas kuat pula. Kondisi hidrologi Indonesia saat ini dicirikan oleh meningkatnya kejadian ekstrimseperti banjir dan kekeringan dengan kandungan cemaran yang tinggi yang terjadi di badan-badan air seperti sungai dan danau. Krisis air juga semakin terasa terutama menjelang atau saat musim kemarau, kususnya ungtuk pulau jawa yang sudah diantisipasi akan mengalami kelangkaan air yang serius akibat tekanan penduduk yang akut dan kondisi peubahan penggunaan lahan yang buruk.
 Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang system kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya.
Sebagai suatu kesatuan tata air, DAS dipengaruhi kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan daerah resapan air yang di banyak tempat rawan terhadap ancaman gangguan manusia. Hal ini mencerminkan bahwa kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement).
Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya adanya ketidakterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut. Dengan kata lain, masing-masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan yang kadangkala bertolak belakang. Sulitnya koordinasi dan sinkronisasi tersebut lebih terasa dengan adanya otonomi daerah dalam pemerintahan dan pembangunan dimana daerah berlomba memacu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada.
Permasalahan ego-sektoral dan ego-kedaerahan ini akan menjadi sangat komplek pada DAS yang lintas kabupaten/kota dan lintas propinsi. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja pembangunan dalam DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS secara terpadu.
Pengelolaan DAS terpadu dilakukan secara menyeluruh mulai keterpaduan kebijakan, penentuan sasaran dan tujuan, rencana kegiatan, implementasi program yang telah direncanakan serta monitoring dan evaluasi hasil kegiatan secara terpadu. Pengelolaan DAS terpadu selain mempertimbangkan faktor biofisik dari hulu sampai hilir juga perlu mempertimbangkan faktor sosial-ekonomi, kelembagaan, dan hukum. Dengan kata lain, pengelolaan DAS terpadu diharapkan dapat melakukan kajian integratif dan menyeluruh terhadap permasalahan yang ada, upaya pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam skala DAS secara efektif dan efisien.
            Berdasarkan sudut pandang biofisik, yang dimaksud dengan daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan tertentu yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas di daratan  (UU air Pasal 1 ayat 11 UU No. 7 Tahun 2004) .
            Sementara dari sudut pandang pengelolaan, Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur - unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat dan pengelola sumberdaya alam tersebut.  DAS dipandang sebagai basis utama yang tepat dalam membentuk unit pembangunan berkelanjutan yang berpilarkan ekologi, ekonomi dan sosial dikarenakan beberapa hal, yaitu : DAS merupakan sistem alami yang jelas batas-batasnya, rentang area dimulai dari pegunungan sampai dengan pesisir beserta area diantaranya, dapat memberikan pandangan secara holistik dari berbagai komponen pembentuknya, memperlihatkan bagaimana ekosistem dataran tinggi, rendah dan pesisir saling berhubungan dan sederhana dalam memonitoring pengaruh berbagai aktifitas/kegiatan terhadap lingkungan.  Sebagai sebuah unit pembangunan berkelanjutan sistem DAS mempunyai kerangka kerja yang mendorong kolaborasi atau kerjasama diantara stakeholder (pemangku kewajiban) untuk mengelola, mempertahankan dan mendistribusikan manfaat kepada stakeholder generasi sekarang dan mendatang, diantara dan diluar unit tersebut. 
            Sehingga sangatlah tepat apabila dikatakan bahwa suatuDaerah Aliran Sungai merupakan suatu megasistem kompleks yang dibangun atas sistem fisik (physical systems), sistem biologis (biological systems) dan sistem manusia (human systems) dimana setiap sistem dan sub-sub sistem di dalamnya saling berinteraksi. DAS sebagai suatu sistem akan memelihara keberadaannya dan berfungsi sebagai sebuah kesatuan melalui interaksi antar komponennya. Kualitas output dari suatu ekosistem sangat ditentukan oleh kualitas interaksi antar komponennya, sehingga dalam proses ini peranan tiap-tiap komponen dan hubungan antar komponen sangat menentukan kualitas ekosistem DAS.

II. Tujuan
1.      mengetahui hubungan antara perubahan lahan dengan debit sungai
2.      Mengetahui pola atau perilaku perubahan debit maksimum dan minimum sungai dari waktu ke waktu akibat perubahan penggunaan lahan


III. Dasar Teori
1.      Daerah Aliran Sungai
            Manusia hidup di bumi akan selalu dipengaruhi, baik secara positif dan negatif oleh adanya interaksi dari sumberdaya air dengan sumberdaya-sumberdaya alam lainnya. Dampak dari interaksi sumberdaya tersebut tidak terbatas pada batasan politik saja. Sebagai contoh yang nyata, air. Air yang mengalir dalam kapasitas yang sangat besar akan mengakibatkan terjadinya banjir. aliran air yang besar akan mengalir dari permukaan yang tinggi ke permukaan yang lebih rendah tanpa memperdulikan batas-batas politis atau administrasi. Dari sinilah diperlukan suatu pengelolaan DAS.
Menurut Chay Asdak (2010:4) Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Daerah aliran sungai secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemeintah No: 33 tahun 1970 tentang perencanaan hutan. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut DAS dibatasi sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifanya sedemikian rupa sehingga suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanan serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut.
Dalam Daerah aliran sungai terdapat ekosistem. Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen yang saling berintegrasi sehingga membentuk suatu kesatuan. Komponen yang dimaksud adalah komponen biotik dan abiotik. Setiap komponen tersebut tidak dapat berdiri sendiri, sehingga aktifitas suatu komponen ekosistem akan selalu memberikan pengaruh pada komponen ekosistem lainnya. Manusia merupakan salah satu ekosistem biotik yang penting dan dinamis. Dalam menjalankan aktifitasnya sering mangakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan dan untuk kemudian mempengaruhi ekosistem secara berurutan.
Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah, dan manusia. Apabila salah satu faktor tersebut mengalami perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi juga ekosistem DAS tersebut dan akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi DAS. Apabila fungsi suatu DAS telah terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian itu akan menyebabkan melimpahnya air pada musim penghujan dan sangat minimum pada musim kemarau, sehingga fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim kemarau berbeda tajam.
Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000). Selama ini kerjasama pengelolaan DAS sering kali dibatasi oleh batas-batas politis ataupun administrasi saja. Padahal kekuatan alam seperti banjir diatas atau erosi dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas politis ataupun administrasi. Pengelolaan DAS ditujukan untuk kesejahteraan manusia dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam atau ekosistemnya, kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kelembagaan. Pengelolaan tidak hanya bertumpu pada salah satu aspek saja tetapi juga harus memperhatikan aspek yang lain. Hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan timbal balik ekosistem DAS dengan manusia, sebab DAS memiliki banyak fungsi (mulltifungsi). Multifungsi DAS seperti penyedia pangan, papan, sandang, rekreasi, kesejukan udara, jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, penyedia energi, dan sebagainya harus diperhatikan. Untuk itu, pendekatan multifungsi DAS dan peran DAS yang dominan dalam kehidupan manusia harus dilakukan agar keseimbangan dapat tercapai. Dengan demikian, konsep pengelolaan DAS yang baik perlu didukung oleh adanya kebijaksanaan yang harus dirumuskan dengan baik pula. Daerah Aliran Sungai dibagi menjadi 3 bagian yaitu bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir. Ciri-ciri pada setiap bagian DAS dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)       Bagian Hulu
a.         Merupakan daerah konservasi.
b.        Mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi.
c.         Merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%).
d.        Bukan merupakan daerah banjir.
e.         Pengaturan air ditentukan oleh pola drainase.
2)       Bagian Hilir
a.        Merupakan daerah pemanfaatan.
b.        Kerapatan drainase lebih kecil.
c.        Merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil (kurang dari 8%).
d.        Pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan).
e.        Pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi.
3)       Bagain Tengah
       Daerah Aliran Sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut diatas. (Asdak, 2010:11).
b.      Fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS)
Salah satu fungsi DAS adalah fungsi hidrologis, dimana fungsi tersebut sangat dipengaruhi oleh jumlah curah hujan yang diterima, geologi dan bentuklahan. Fungsi hidrologis yang dimaksud termasuk kapasitas DAS untuk:
a.        Mengalirkan air.
b.        Menyangga kejadian puncak hujan.
c.        Melepaskan air secara bertahap.
d.        Memelihara kualitas air.
e.        Mengurangi pembuangan massa (seperti terhadap longsor).
(http://www.bacaanonline.com, 19Juli 2011)
            Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah, dan manusia. Apabila salah satu faktor tersebut mengalami perubahan, maka hal tersebut akan mempengaruhi juga ekosistem DAS tersebut dan akan menyebabkan gangguan terhadap bekerjanya fungsi DAS. Apabila fungsi suatu DAS telah terganggu, maka sistem hidrologisnya akan terganggu, penangkapan curah hujan, resapan dan penyimpanan airnya menjadi sangat berkurang atau sistem penyalurannya menjadi sangat boros. Kejadian itu akan menyebabkan melimpahnya air pada musim penghujan dan sangat minimum pada musim kemarau, sehingga fluktuasi debit sungai antara musim hujan dan musim kemarau berbeda tajam.
Agus, F. Dan Widianto (2004:186) mengemukakan bahwa sebuah DAS yang sehat dapat menyediakan:
1) Unsur hara bagi tumbuh-tumbuhan.
2) Sumber makanan bagi manusia dan hewan
3) Air minum yang sehat bagi manusia dan makhluk lainnya.
4) Tempat berbagai aktivitas manusia dan hewan.
Manusia hidup di bumi akan selalu dipengaruhi, baik secara positif dan negatif oleh adanya interaksi dari sumberdaya air dengan sumberdaya-sumberdaya alam lainnya. Dampak dari interaksi sumberdaya tersebut tidak terbatas pada batasan politik saja. Sebagai contoh yang nyata, air. Air yang mengalir dalam kapasitas yang sangat besar akan mengakibatkan terjadinya banjir. aliran air yang besar akan mengalir dari permukaan yang tinggi ke permukaan yang lebih rendah tanpa memperdulikan batas-batas politis atau administrasi. Dari sinilah diperlukan suatu pengelolaan DAS.
Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan manusia dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Departemen Kehutanan, 2000). Selama ini kerjasama pengelolaan DAS sering kali dibatasi oleh batas-batas politis ataupun administrasi saja. Padahal kekuatan alam seperti banjir diatas atau erosi dan tanah longsor tidak mengenal batas-batas politis ataupun administrasi. Pengelolaan DAS ditujukan untuk kesejahteraan manusia dengan mempertimbangkan kondisi sumberdaya alam atau ekosistemnya, kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kelembagaan. Pengelolaan tidak hanya bertumpu pada salah satu aspek saja tetapi juga harus memperhatikan aspek yang lain. Hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan timbal balik ekosistem DAS dengan manusia, sebab DAS memiliki banyak fungsi (mulltifungsi). Multifungsi DAS seperti penyedia pangan, papan, sandang, rekreasi, kesejukan udara, jasa lingkungan, keanekaragaman hayati, penyedia energi, dan sebagainya harus diperhatikan. Untuk itu, pendekatan multifungsi DAS dan peran DAS yang dominan dalam kehidupan manusia harus dilakukan agar keseimbangan dapat tercapai. Dengan demikian, konsep pengelolaan DAS yang baik perlu didukung oleh adanya kebijaksanaan yang harus dirumuskan dengan baik pula.
2.   Lahan
            Menurut Food And Agricultural Organisation (FAO:1976) lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan, termasuk didalamnya juga hasil kegiatan manusia dimasa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti tanah yang tersalinasi (Arsyad, 2010: 310).
            Dedy Ma’mun dalam Suryaningtyas (2002:20) menyatakan bahwa ”lahan adalah bagian dari permukaan bumi tempat berlangsungnya berbagai kegiatan serta berdirinya berbagai struktur kebutuhan untuk menunjang kehidupan.”Selain itu, lahan juga dapat didefinisikan sebagai bentangan alam yang terdiri dari satu atau lebih jenis tanah dan mencakup faktor-faktor fisik topografi, vegetasi, iklim, atau sumber air dimana proses produksi berlangsung dan pembangunan dilaksanakan.
            Malingreau dalam Tegawati (1978:18) mendefinisikan bahwa ”lahan adalah suatu wilayah tertentu yang ada di permukaan bumi khususnya benda yang menyusun biosfer yang dianggap mempunyai siklus yang berada diatasnya atau dibawah wilayah tersebut, yang meliputi tanah, batuan induk, topografi, air, masyarakat, dan binatang berikut akibat dari manusia dimasa sekarang atau masa yang akan datang yang kesemuanya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap penggunaan lahan.”
            Notohadiprawiro (1992:1) mengemukakan bahwa ” lahan dapat diartikan sebagai suatu sumberdaya darat bergatrabahan, energi, dan ruang yang termanfaatkan bagi permukiman masyarakat manusia secara tetap dalam berbagai ragam jelmaan ekonomi, sosial, dan budaya. ” Barrow (1991) mendefinisikan degradasi lahan sebagai hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. kehilangan atau perubahan kenampakkan tersebut menyebabkan fungsinya tidak dapat diganti oleh yang lain. Degradasi lahan akan berdampak baik bagi manusia dan mahluk hidup lainnya.
Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pemerintah harus menyusun rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN), pemerintah daerah provinsi harus menyusun rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRW provinsi), dan pemerintah daerah kabupaten harus menyusun rencana tata ruang wilayah kabupaten (RTRW kabupaten), dengan memperhatikan daya dukung lingkungan hidup. Penyusunan rencana tata ruang wilayah yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan hidup, dapat menimbulkan permasalahan lingkungan hidup seperti banjir,longsor dan kekeringan. Dalam upaya menangani permasalahan tersebut di atas, dan dalam rangka pelaksanaan penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang perlu disusun Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah. Pedoman ini di samping digunakan untuk menentukan daya dukung lingkungan hidup wilayah juga dapat dimanfaatkan untuk melakukan evaluasi pemanfaatan ruang sehingga setiap penggunaan lahan sesuai dengan kemampuan lahan.
Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan alam dan sumber daya untuk mendukung kegiatan manusia/penduduk yang menggunakan ruang bagi kelangsungan hidup. Besarnya kapasitas tersebut di suatu tempat dipengaruhi oleh keadaan dan karakteristik sumber daya yang ada di hamparan ruang yang bersangkutan. Kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya akan menjadi faktor pembatas dalam penentuan pemanfaatan ruang yang sesuai.
Daya dukung lingkungan hidup terbagi menjadi 2 (dua) komponen, yaitu kapasitas penyediaan (supportive capacity) dan kapasitas tampung limbah (assimilative capacity). Dalam pedoman ini, telaahan daya dukung lingkungan hidup terbatas pada kapasitas penyediaan sumber daya alam, terutama berkaitan dengan kemampuan lahan serta ketersediaan dan kebutuhan akan lahan dan air  dalam suatu ruang/wilayah. Oleh karena kapasitas sumber daya alam tergantung pada kemampuan, ketersediaan, dan kebutuhan akan lahan dan air, penentuan daya dukung lingkungan hidup dalam pedoman ini dilakukan berdasarkan 3 (tiga) pendekatan, yaitu:
1. Kemampuan lahan untuk alokasi pemanfaatan ruang.
2. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan lahan.
3. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan air.
Agar pemanfaatan ruang di suatu wilayah sesuai dengan kapasitas lingkungan hidup dan sumber daya, alokasi pemanfaatan ruang harus mengindahkan kemampuan lahan. Perbandingan antara ketersediaan dan kebutuhan akan lahan dan air di suatu wilayah menentukan keadaan surplus atau defisit dari lahan dan air untuk mendukung kegiatan pemanfaatan ruang. Hasil penentuan daya dukung lingkungan hidup dijadikan acuan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Mengingat daya dukung lingkungan hidup tidak dapat dibatasi berdasarkan batas wilayah administratif, penerapan rencana tata ruang harus memperhatikan aspek keterkaitan ekologis, efektivitas dan efisiensi pemanfaatan ruang, serta dalam pengelolaannya memperhatikan kerja sama antar daerah.


BAB 2
PENELITIAN

I.  Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum Pengukuran Morfometri DAS Secara Kuantitatif ini adalah Laptop, Software AcrGIS 9.3, Software Microsoft Office Excel. Sedangkan bahan yang digunakan adalah data digital sub-DAS. Sedangkan untuk mengukurdebit sungai alat yang digunakan adalah current meter, penggaris, meteran dan stopwatch dan banah yang digunakan adalah table data.
II.  Cara Kerja
Cara kerja untuk pengukuran debit sungai adalah sebagai berikut :
1.      Metode 3 titik
a.       Mengukur lebar sungai dengan menggunakan meteran.
  1. Lebar sungai dibagi menjadi 8 titik pengukuran dengan masing-masing jarak interval antara titik 0,5 m, dimulai dari lebar 0,5 m dari sisi kiri sungai.
  2. Mengukur kedalaman titik dengan menggunakan penggaris.
  3. Pada masing-masing titik pengukuran diukur kecepatan aliran sungai dengan menggunakan current meter untuk kedalaman 0,8 bagian 0,6 bagian dan 0,2 bagian dari kedalaman titik.
  4. Menghitung luas masing-masing titik pengukuran.
  5. Menghitung debit aliran pada masing-masing titik pengukuran.
  1. Metode 5 titik
  1. Mengukur lebar sungai dengan menggunakan meteran .
  2. Lebar sungai dibagi menjadi 3 titik pengukuran dengan masing-masing jarak interval antara titik 0,55 m dari sisi sungai.
  3. Mengukur kedalaman titik dengan menggunakan penggaris.
  4. Pada masing-masing titik pengukuran diukur kecepatan aliran sungai dengan menggunakan current meter untuk kedalaman titik.
  5. Menghitung luas masing-masing titik pengukuran.
  6. Menghitung debit aliran pada masing-masing titik-titik pengukuran.
III.                Parameter
      Parameter yang digunakan adalah luas DAS, panjang dan lebar DAS, kualitas air, dan bentuk DAS.















BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN
I.          Hasil
Table 1. Karakteristik beberapa sungai utama di Indonesia dengan   status penggunaan l
 












                                               






Tabel 2. Karakterisitik Debit Beberapa Sungai Utama










Tabel 3. Penggunaan lahan DAS Ciliwung hulu dan tengah pada tahun 1981-1999








                                                 

Tabel 4. Perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Batanghari tahun 1986-1992
 










Table 5. lahan kritis dan laju rehabilitasi tahunan
 








                                           



Table 6. statistic deskripsi dan frekuensi debit banjir sungai yang ada di Indonesia
 










II.          Pembahasan
Karakteristik DAS sejumlah sungai utama di Indonesia, khususnya di Jawa, dicirikan oleh dominasi lahan budi daya pertanian dan padi sawah yang mencapai 50-85%, dan perkembangan perkotaan yang sudah mencapai 30% untuk Citarum dan Brantas, sedangkan luas hutan sudah dibawah 20%. Hal ini diyakini telah ikut mempengaruhi terjadinya peningkatan frekuensi dan volume debit banjir maupun kekeringan di banyak wilayah di Indonesia. Delapan dari sepuluh sungai tersebut terdapat di Jawa dengan total luas seluruh DAS mencapai separuh dari luas Pulau Jawa dan total rerata debit sebanding dengan proporsi luas DAS. Status penggunaan lahan dari sepuluh DAS utama ini sudah didominasi oleh lahan budi daya dan perkotaan yang menunjukkan tingkat perkembangan wilayah yang ada. Penggunaan lahan pertanian dan padi sawah telah mencapai 50-85%, dan perkotaan mencapai hampir 30% untuk Citarum dan Brantas, sedangkan luas lahan hutan kebanyakan sudah di bawah 20%. Data terakhir dari Badan Planologi Dephut menyatakan bahwa luas tutupan hutan Pulau Jawa saat ini tinggal 4%.
Karakteristik debit sungai sebagaimana tercantum pada Tabel 2 menunjukkan variasi aliran yang tinggi, baik untuk rezim aliran sungai-sungai tertentu maupun antar-sungai. Rasio debit maksimum/minimum bervariasi dari kurang dari 20 kali sampai lebih dari 100 kali, walau perlu dicermati juga akurasi informasi debit yang diberikan ini antara debit maksimum sesaat atau rerata bulanan. Sebagai indikator penting untuk menilai karakteristik hidrologi banjir dari suatu sungai adalah debit jenis (specific discharge) yang dibataskan sebagai besar debit per satuan luas (m3/s/100 km2). Nampak bahwa sungai-sungai utama di Indonesia ini memiliki sifat banjir yang moderate dibandingkan dengan sungai-sungai di dunia, yaitu dengan debit jenis (Qmax/A) antara 10-80 m3/s/100 km2 kecuali Tuntang dan Jeneberang yang melampaui 100 m3/s/100 km2 atau termasuk tinggi. Sebagai ukuran ketersediaan air dapat dinyatakan debit jenis terhadap debit rerata yang menghasilkan besaran antara 4-10 m3/s/100 km2. Debit minimum menyatakan kondisi ketersediaan air pada musim kering yang tentunya harus digunakan terbatas untuk jenis penggunaan air tertentu saja, seperti penggunaan domestik dan industri, dan tidak untuk pertanian.
   Pola penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung masih didominasi oleh lahan pertanian dan perkebunan, yaitu 61% dari luas DAS Ciliwung Hulu dan 73% dari luas DAS Ciliwung Tengah. Kawasan hutan didapatkan di DAS Ciliwung Hulu seluas 5.310 ha, sebagaimana secara lengkap ditunjukkan pada Tabel 3 berikut untuk kondisi tahun 1981 dan 1999, sedangkan Gambar 1 menunjukkan pola penggunaan lahan DAS untuk tahun 1999. Perbedaan total luas antara dua tahun pengamatan tersebut dikarenakan pengukuran luas diperoleh dari dua peta dengan sumber berbeda yang masing-masing diperoleh sebagai hasil interpretasi citra landsat pada tahun-tahun bersangkutan. Perubahan penggunaan lahan dari kondisi dua tahun pengamatan ini menunjukkan penurunan luas hutan di Ciliwung Hulu seluas 2 ha, perkebunan seluas 35 ha, sawah total seluas 62 ha, dan lahan tegalan/ladang seluas 152 ha. Penurunan penggunaan lahan serupa didapati juga pada kawasan tengah. Peningkatan yang mencolok terjadi pada luas kawasan permukiman, baik di Ciliwung Hulu maupun Tengah, masing-masing meningkat dari 255 ha menjadi 506 ha untuk Ciliwung Hulu dan dari 1.147 ha menjadi 1.961 ha untuk Ciliwung Tengah, atau peningkatan masing-masing sebesar 98% dan 71%, yang diperoleh terutama dari pengurangan luas sawah dan tegalan, baik di kawasan hulu maupun tengah.
Kabupaten Batanghari memiliki luas 1.054.104 ha, dengan jumlah penduduk 294.381 jiwa (29 jiwa/km2) pada tahun 1986 dan meningkat menjadi 380.097 jiwa (38 jiwa/km2) pada tahun 1992 atau bertambah 31% dan diproyeksikan akan meningkat menjadi 466.356 jiwa pada tahun 2004. Tabel 4 dan Gambar 2 menunjukkan bahwa laju perubahan lahan hutan dataran rendah maupun tinggi (LHF) menjadi penggunaan lahan lain adalah 2% atau 132 ha/tahun. Wujud dari alih fungsi lahan LHF adalah berupa lahan bekas tebangan (LLOF), yaitu sebesar 790 ha yang terjadi selama 6 tahun. Hutan rawa gambut (PSF) juga telah mengalami perubahan fungsi, yaitu menjadi LLOF, areal tanaman/vegetasi sekunder (SR), dan lahan untuk tanaman padi huma serta tanaman pangan lain (MUR) berturut-turut seluas 14.810 ha, 167 ha dan 10 ha yang juga terjadi selama kurun waktu 6 tahun. Laju perubahan lahan lain yang juga cukup dominan di Kabupaten Batanghari adalah bertambah luasnya lahan perkebunan karet (SHR). Pertambahan luas tersebut berasal dari perubahan fungsi lahan LLOF, SR, MFT (kebun buah-buahan, kayu manis dan kopi), dan MUR menjadi SHR. Berdasarkan hasil analisis tersebut maka perubahan penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lain tampaknya mengikuti suatu pola yang khas, yaitu: (1) perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan lain adalah mungkin terjadi, tapi penggunaan lahan turunannya belum pernah ada yang kembali menjadi hutan, dan (2) perubahan penggunaan lahan terakhir di Kabupaten Batanghari pada umumnya berupa lahan. Dampak nyata dari perubahan penggunaan lahan ini adalah peningkatan erosi tanah dan meluasnya lahan-lahan kritis. Saat ini diperkirakan terdapat lahan kritis seluas 43 juta ha walaupun Tabel 5 menunjukkan status lahan kritis pada tahun 1988 seluas 13 juta ha dengan target laju rehabilitasi tahunan sebesar 500 ribu ha/tahun untuk periode 1976-1987.
perubahan tutupan lahan telah berlangsung di Pulau Jawa sejak awal abad lalu akibat konversi lahan dari hutan menjadi penggunaan lain dan hal ini berlangsung sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dari empat juta pada awal abad 19 yang meningkat menjadi 40 juta pada awal abad 20 dan saat ini mencapai 130 juta jiwa. Pertambahan penduduk ini berbanding terbalik dengan luas hutan yang terus berkurang hingga kurang dari 20%. Penggundulan lahan ini telah berlangsung sejak awal abad 20 dan meningkat secara luas dalam tiga dasawarsa terakhir ini. Dampak perubahan tutupan lahan dalam skala luas ini nampak dari perubahan fungsi hidrologi DAS yang berawal dari penurunan curah hujan wilayah dan diikuti oleh hasil air DAS. Gejala penurunan curah hujan Pulau Jawa nampak dari rataan curah hujan tahunan periode 1931-1960 dan 1968-1998 di banyak stasiun yang meliputi sepanjang Jawa bagian selatan yang mencapai selisih 1.000 mm antara dua periode pengamatan tersebut. Hasil serupa juga diamati dengan perubahan jangka panjang untuk DAS Citarum untuk masa 1896-1994 yang mengalami trend penurunan curah hujan dengan laju 10 mm/tahun dan diikuti oleh penurunan debit limpasan sebesar 3 mm/tahun.
Penilaian kepekaan dan daya dukung sistem hidrologi DAS akibat perubahan penggunaan lahan dapat dilakukan dalam tiga tahapan berikut: (i) pengembangan skenario perubahan penggunaan lahan; (ii) simulasi hidrologi wilayah; dan (iii) evaluasi dampak dari variasi hidrologi yang dihasilkan sistem sumber daya air yang meliputi aspek pengembangan dan pengelolaan serta menilai kinerja sistem akibat bencana seperti banjir dan kekeringan, operasi waduk, saluran, mutu air, serta berbagai isu lingkungan. Pawitan (1999) menyatakan bahwa perubahan pola penggunaan lahan berdampak pada penurunan ketersediaan air wilayah akibat meningkatnya fluktuasi musiman dengan gejala banjir dan kekeringan yang semakin ekstrim, dan ukuran DAS serta kapasitas sistem storage DAS, baik di permukaan (tanaman, sawah, rawa, danau/waduk, dan sungai) maupun bawah permukaan (lapisan tanah dan air bumi), akan merupakan faktor dominan yang menentukan kerentanan dan daya dukung sistem sumber daya air wilayah terhadap perubahan iklim. Dalam kaitan ini perubahan paradigma dari pengelolaan sumber daya air dari blue water menjadi green water menjadi relevan saat ini. Selain mengukur pengaruhnya peneliti juga mengukur debit aliran sungai.


BAB 4
KESIMPULAN

1.      Delapan dari sepuluh sungai tersebut terdapat di Jawa dengan total luas seluruh DAS mencapai separuh dari luas Pulau Jawa dan total rerata debit sebanding dengan proporsi luas DAS
2.      Karakteristik debit sungai menunjukkan variasi aliran yang tinggi, baik untuk rezim aliran sungai-sungai tertentu maupun antar-sungai. Rasio debit maksimum/minimum bervariasi dari kurang dari 20 kali sampai lebih dari 100 kali, walau perlu dicermati juga akurasi informasi debit yang diberikan ini antara debit maksimum sesaat atau rerata bulanan.
3.      Perubahan penggunaan lahan hampir pasti mengikuti pola dari jenis penggunaan hutan ke pertanian, perkebunan, dan berlanjut ke permukiman sejalan dengan perkembangan wilayah perkotaan. Perubahan demikian jelas sangat berpengaruh terhadap neraca air wilayah dan rezim hidrologi DAS bersangkutan. Perlu dicermati adanya kesimpulan yang menyederhanakan dampak perubahan penggunaan lahan seolah-olah jenis tutupan vegetasi tidak banyak berperan dan mengabaikan air konsumtif tanaman











DAFTAR PUSTAKA
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Dasanto, B.D. 2003. Proyeksi Perubahan Penggunaan Lahan Menggunakan Metode Regresi Logistik (Studi kasus: Kabupaten Batanghari, Jambi). Laporan Penelitian Departemen Geofisika dan Meteorologi-Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Institut Pertanian Bogor (Tidak dipublikasikan).
Harsoyo, Bangun. 1977. Pengelolaan Air Irigasi. Dinas Pertanian Jawa Timur.
Hidayah,R.2008. Analisis Morfometri Sub Daerah Aliran Sungai Karangumus dengan Aplikasi Sistem Informasi Georafis. Skripsi. Samarinda:Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman.
Ibnu Pamungkas, Azam, Aditiya Priambodo. 2014. Modul Praktikum Hidrologi. Universitas Jendral Soedirman Fakultas Pertanian. Purwokerto.
Kartasapoetra, Ir. A.G. dan Sutedjo Mulyani. 1986. Teknologi Pengairan Pertanian. Bina Aksara. Jakarta.
Martha, Joyce. (1991). Mengenal Dasar-Dasar Hidrologi. Bandung: Nova.
Pawitan, H. 1999. Penilaian kerentanan dan daya adaptasi sumber daya air terhadap perubahan iklim. Makalah Lokakarya Nasional – Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta, Februari 1999.
Pramono, Irfan B. dan Gunardjo Tjakrawarsa. 2013. Hubungan Antara Karakteristik Hujan dan Banjir di Sub DAS Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Teknologi Pengelolaan DAS, 12 Juni 2013. Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
riyono,C.N.S dan Savitri,E.1997.Hubungan antara Morfometri dengan Karakteristik Hidrologi suatu Daerah Aliran Sungai (DAS): Studi kasus Sub DAS Wader.Jakarta: Buletin Pengelolaan DAS Vol.III.No.2.
Singgih, I. 2000. Kajian Hidrologi DAS Ciliwung Menggunakan Model HEC-1. Tesis M.S. PS Pengelolaan DAS. Program Pascasarjana IPB, Bogor
Sosrodarsono, Ir. Suyono, Cs. 1985. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita. Jakarta.
Tobing, Bontor Lumban. 2008. Optimasi Penggunaan Lahan dari Aspek AliraN Permukaan di Sub DAS Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Geografi Magister Perencanaan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai (MPPDAS) Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada
Trihatmojo, Bambang. 2010. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Beta Offset
Wijaya, Taufik Adi. 2004. Analisis Pengaruh Perubahan penggunaan Lahan terhadap Perubahan Karakteristik Hidrograf Banjir Menggunakan Software HEC-HMS Versi 2.2.2, Studi Kasus di DAS Progo di Hulu Stasiun AWLR Duwet. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada












LAMPIRAN
 





































                                         




0 komentar on "paper hidrologi Daerah Aliran Sungai"

Posting Komentar

 

Coretan Singkat Copyright 2008 All Rights Reserved Baby Blog Designed by Ipiet | All Image Presented by Tadpole's Notez